Raden Kajoran: Sang Pemberontak Suci dari Tembayat

Reporter

Aunur Rofiq

04 - May - 2025, 05:08

Ilustrasi potret Raden Kajoran (Panembahan Rama ing Kajoran), seorang bangsawan sekaligus tokoh spiritual yang berpengaruh dalam sejarah Jawa pada abad ke-17. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada dekade ketujuh abad ke-17, Jawa Tengah menjadi panggung kontestasi kekuasaan yang mengguncang poros Kerajaan Mataram. Di antara intrik istana, pemberontakan bangsawan, dan intervensi kekuatan kolonial Belanda, tampil sosok enigmatis yang sering kali luput dari sorotan utama historiografi klasik: Raden Kajoran. 

Raden Kajoran bukan hanya seorang pertapa dari pedalaman. Melainkan juga aktor politik dengan jaringan silsilah bangsawan dan semenda spiritual ke pusat-pusat kekuatan keagamaan Tembayat dan Semarang. 

Baca Juga : Liverpool Pastikan Juara Premier League, Arne Slot Siap Rotasi Pemain?

Melansir berbagai sumber, Kajoran bukan tokoh fiksi babad, tetapi nyata hadir dalam dokumen kolonial dan tradisi lisan Jawa. Artikel ini hendak menelisik peran historis Raden Kajoran dalam kaitannya dengan krisis takhta Mataram, serta mengurai lapis-lapis silsilah dan posisi politiknya menurut sumber primer dan sekunder.

 Tragedi Keluarga Pangeran Pekik dan Awal Manuver Adipati Anom

Peristiwa tragis yang menimpa Pangeran Pekik dan keluarganya sekitar tahun 1659 menjadi titik balik penting dalam kehidupan politik putra mahkota Pangeran Adipati Anom. Pembunuhan ini memantik trauma sekaligus ketegangan antara sang putra mahkota dan ayahandanya, Sunan Amangkurat I. 

Sumber utama seperti Babad Bedhahing Pati, Serat Kandha, serta Meinsma's Babad menyatakan bahwa setelah tragedi tersebut, meski diperkenankan kembali ke istana, Adipati Anom menyimpan rasa duka dan kebencian mendalam. Dalam diam, ia mulai menyusun jaringan dukungan untuk menggulingkan ayahandanya.

Para sentana dan bupati mendesaknya agar menyatakan diri sebagai raja, namun demi menghindari konflik langsung, ia memilih langkah strategis: mencari figur pelindung atau "warana" untuk menyamarkan ambisinya. Teringatlah ia pada Raden Kajoran, pertapa sakti dari garis keturunan Tembayat, yang juga masih kerabat jauh melalui jalur semenda. Maka dikirimlah tiga orang bawahannya ke Kajoran: Pranantaka, Sendi (atau Sumending), dan Ki Ondakara.

Nama-nama ini tercatat bukan hanya dalam babad, tetapi juga dalam Daghregister VOC. Sendi atau Sumending, misalnya, kelak dikenal sebagai Lurah Zindy, utusan ke Batavia pada 1671 dan 1672, serta diangkat menjadi Adipati Urawan di Surabaya pada 1677. Fakta ini menegaskan bahwa ketiga utusan tersebut adalah tokoh historis, bukan fiktif.

 Raden Kajoran: Tokoh Marginal dalam Babad, Sentral dalam Perlawanan

Meski peran Raden Kajoran sering dipandang remeh dalam teks-teks babad, tokoh ini justru menjadi pusat kekuatan dalam narasi alternatif dan sumber kolonial. Dalam In 't Harte van Java (1881), penyair Belanda W.J. Hofdijk menyebut Kajoran sebagai "raksasa di antara manusia-manusia kerdil" yang hendak merebut Jawa. Ia muncul sebagai figur pemberontak yang berani menantang pusat kekuasaan, baik Mataram maupun Kompeni.

Ketidaktertarikan awal Belanda terhadap Kajoran bisa dimaklumi. Mereka lebih menyoroti tokoh flamboyan seperti Trunajaya dari Madura atau bekas laskar Makassar yang agresif. Namun dalam kenyataannya, Raden Kajoran adalah arsitek spiritual dan politik dari pemberontakan besar yang meledak pada 1670-an.

Genealogi dan Koneksi Tembayat

Untuk memahami posisi strategis Raden Kajoran, penting menelusuri silsilahnya. Berdasarkan tulisan tangan kuno, silsilah keluarga Kajoran menautkan tokoh ini dengan tokoh besar Islam Jawa: Kiai Ageng Pandanarang alias Sunan Tembayat. Panembahan Kajoran adalah keturunan dari Sad Kalkum ing Wotgalih, kemudian Said Kalkum yang kawin dengan dua putri Pandanarang. Maka dari jalur ibu, Kajoran merupakan cicit dari Sunan Tembayat.

Hubungan ini penting, karena Tembayat merupakan pusat tarekat dan dakwah yang tidak sepenuhnya tunduk kepada Dinasti Mataram. Bahkan, Ki Ageng Giring leluhur jalur Tembayat disebut sebagai rival spiritual Ki Ageng Pamanahan, pendiri Mataram. Kebanggaan terhadap asal-usul Tembayat inilah yang kemudian menjadi identitas ideologis Kajoran dan pengikutnya.

Dalam sebuah surat yang tersimpan di Arsip Kolonial (KA No. 1219), Kajoran menulis kepada Adipati Martapura di Jepara bahwa ia memohon bantuan dari "buyut kita" di Tembayat, Kajoran, dan Semarang. Ini membuktikan bahwa perlawanan yang ia galang memiliki dasar genealogis, bukan sekadar ambisi politik.

Ikatan Semenda dengan Dinasti Mataram

Menariknya, keluarga Kajoran memiliki pertalian pernikahan dengan Dinasti Mataram, meskipun hanya dalam beberapa generasi. Salah satu putri Panembahan Kajoran menikah dengan Senapati, pendiri Dinasti Mataram, dan dari pernikahan tersebut lahirlah Pangeran Adipati Riyamenggala dan Jayaraga. Hubungan ini berlanjut ketika Raden Ayu Wangsacipta, putri Senapati, dinikahkan dengan Raden Kajoran dari generasi berikutnya.

Selanjutnya, keluarga Kajoran terus menjalin pernikahan strategis dengan lingkar dalam keluarga inti raja-raja Mataram. Salah satu contoh yang menonjol adalah pernikahan Pangeran Purbaya I dengan putri Pangeran Agung dari Kajoran. Aliansi ini bukan sekadar penyatuan dua trah bangsawan, melainkan juga mencerminkan strategi kultural dan politik untuk memperluas legitimasi serta memperkuat pengaruh keluarga Kajoran di dalam struktur kekuasaan Dinasti Mataram.

Tidak hanya itu, Pangeran Purbaya II juga tercatat menikah dengan putri Raden Kajoran, menunjukkan kesinambungan hubungan antara kedua keluarga. Bahkan, Purbaya II juga menikahi putri Kanjeng Panembahan Raden, yang merupakan keponakan Pangeran Kajoran Ambalik. Hubungan ini menunjukkan intensitas jaringan pernikahan yang menembus batas-batas generasi, sehingga mempertegas posisi keluarga Kajoran sebagai power broker dalam struktur aristokrasi Mataram.

Pada generasi berikutnya, Pangeran Purbaya IV menikah dengan putri Panembahan Purbaya II, yang juga merupakan keponakan dari Kajoran Ambalik. Artinya, baik secara vertikal maupun lateral, hubungan antara Purbaya dan Kajoran dijalin begitu erat dalam arsitektur kekuasaan Mataram.

Ikatan ini menunjukkan bahwa walau berasal dari lingkaran luar istana, Kajoran bukanlah orang asing bagi elite Mataram. Ia berdiri di antara dua dunia: spiritual keagamaan Tembayat dan politik dinasti Kesultanan.

Keluarga Kajoran sendiri tak hanya berhubungan dengan Purbaya. Silsilah mereka juga bersilangan dengan garis keturunan Wiramenggala. Salah satu selir dari Kajoran memberikan keturunan kepada dua tokoh besar: Pangeran Adipati Jayaraga dari Panaraga dan Senapati Mataram, melahirkan tokoh penting bernama Raden Gatot, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Adipati Wiramenggala.

Dalam naskah Sadjarah Dalem, nama Wiramenggala muncul sebagai saudara tiri Purbaya I. Namun uniknya, dalam arsip Belanda, terdapat figur Raden Aria Wiramenggala—saudara Purbaya II—yang dihukum mati oleh Purbaya II sendiri atas perintah raja pada 6 Juli 1670. Ini menandakan konflik internal di antara saudara sekandung sekaligus penguatan kesetiaan sebagian Purbaya terhadap Sunan Amangkurat I. Raden Kartanadi, alias Pangeran Adipati Wiramenggala, juga menjadi menantu Amangkurat I dan putra Panembahan Raden—menunjukkan betapa saling terhubungnya elit kekuasaan Jawa abad ke-17.

Struktur Keluarga Raden Kajoran Ambalik

Raden Kajoran Ambalik bukan sosok biasa. Ia adalah ulama sekaligus bangsawan berdarah biru. Ia bukan hanya keturunan ningrat, tetapi juga dikenal sebagai tokoh spiritual yang memiliki karisma dan keahlian dalam laku tapa. Dalam catatan Daghregister VOC, Speelman menyebutnya "seorang pemburu iblis", "nabi kaum iblis"—label yang mengandung kekaguman sekaligus kekhawatiran kolonial terhadap karisma religiusnya. Penduduk setempat menyebutnya Panembahan Rama, gelar penuh hormat yang menandakan kedalaman spiritualitasnya.

Raden Kajoran Ambalik muncul sebagai pusat dari jaringan kekerabatan dan perlawanan terhadap kekuasaan Amangkurat I. Sumber-sumber Jawa seperti Serat Tjandrakanta menyebutkan keberadaan saudara laki-laki dan perempuan Kajoran, meskipun tidak menyebut anak-anaknya secara eksplisit. Di sinilah catatan Belanda mengisi kekosongan tersebut.

Dalam sejumlah sumber Belanda, tercatat beberapa saudara Raden Kajoran yang memainkan peran penting, baik dalam dinamika internal keluarga maupun dalam politik Mataram. Di antaranya terdapat seorang adik laki-laki yang disebut-sebut tidak memperdulikan kepentingan keluarga, serta Raden Kahunan, adik Raden Kajoran yang kemudian ditetapkan sebagai penguasa di wilayah Jawa Tengah. Selain itu, disebut pula seorang abang tua yang kemungkinan bernama Pangeran Pamingak, dan Wirameja, abang lainnya yang diketahui menjadi mertua Pangeran Puger. Di saat-saat terakhir kehidupan Raden Kajoran, seorang saudari perempuan yang tak disebutkan namanya dikisahkan berusaha menyelamatkannya dari nasib tragis.

Sementara itu, anak-anak Raden Kajoran juga menempati posisi strategis dalam peristiwa sejarah besar abad ke-17. Dua orang putrinya masing-masing menikah dengan Pangeran Wiramenggala dan Raden Trunajaya, penggerak utama pemberontakan melawan Mataram. Di antara putra-putranya, Raden Wirakusuma dikenal sebagai panglima besar dalam pemberontakan Trunajaya, sementara Raden Panganteen—juga dikenal dengan nama Beere—ikut terlibat dalam perlawanan tersebut. Dua putra lainnya, Raden Kartanegara dan Wangsadika, tewas dalam konflik bersenjata, dan satu lagi bernama Kartipada, dikenang sebagai salah satu tokoh pemberontak terkemuka.

Dengan demikian, keluarga Kajoran secara eksplisit tidak hanya menjadi simpul genealogis bagi para pangeran dan elite politik Mataram, tetapi juga berkembang menjadi sebuah dinasti pemberontak yang jejak politiknya melintasi generasi.

Masa Keemasan dan Deklinasi Keluarga Kajoran

Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645), keluarga Kajoran masih menikmati karunia dan pengakuan penuh dari kerajaan. Dalam sebuah piagam kerajaan bertanggal 20 April 1641 yang dikutip dalam Holle, “Preanger-Regentschappen”, nama Pangeran Kajoran disebut setelah Panembahan Cirebon, menandakan posisi tingginya dalam tatanan politik istana.

Namun kemuliaan ini pelan-pelan luntur setelah wafatnya Sultan Agung dan naik takhtanya Amangkurat I. Seiring bertambahnya represi, pembunuhan para pangeran, dan ketidakpuasan daerah, keluarga Kajoran berpaling dari istana dan memimpin jaringan pemberontakan yang masif. Puncaknya terjadi dalam pemberontakan Trunajaya (1674–1680), di mana Raden Kajoran dan menantunya Trunajaya memainkan peran sentral, baik sebagai pemimpin militer maupun ideolog perlawanan terhadap korupsi dan kekerasan kekuasaan Amangkurat I.

Pertapa yang Menjadi Pemantik Perang

Baca Juga : Begini Ciri Hunian Ideal Versi Islam

Pada tahun 1670, hubungan Adipati Anom dan Raden Kajoran semakin intens. Mereka merancang pemberontakan besar-besaran dengan dukungan pasukan Trunajaya. Pertemuan di Kajoran antara pertapa dan pangeran itu menjadi awal konspirasi yang kelak meletup menjadi Perang Trunajaya (1674–1680). Raden Kajoran menyediakan legitimasi spiritual dan jaringan lokal, sementara Trunajaya menyumbang kekuatan militer.

Sumber Belanda seperti Daghregister mencatat aktivitas pasukan yang terafiliasi dengan Kajoran. Pada 1674, penyerbuan terhadap kota-kota pesisir dilakukan secara sistematis. Tahun 1677, pasukan gabungan ini berhasil menaklukkan Plered, ibu kota Mataram. Sunan Amangkurat I terpaksa lari ke arah barat dan wafat dalam pelarian.

Kajoran memainkan peran kunci sebagai penasihat Trunajaya, bahkan mempengaruhi keputusan-keputusan strategis militer. Namun, setelah kematian Kajoran dalam pertempuran, kekuatan pemberontakan pun mulai meredup.

Ulama dari Tembayat dan Akar Pemberontakan

Nama Raden Kajoran atau Panembahan Rama dikenal luas dalam sejarah Jawa abad ke-17 sebagai seorang tokoh penting dalam pemberontakan Trunajaya melawan Kesultanan Mataram dan kolonial VOC. Sebagai keturunan Sunan Tembayat, ia merupakan figur ulama bergelar Kyai, yang tidak hanya dihormati dalam lingkungan religius tetapi juga memiliki pengaruh politik yang besar. Ia dikenal cerdas, kharismatik, dan memiliki jaringan yang kuat dengan para bangsawan pesisir utara dan kalangan santri di pedalaman Jawa.

Sebagai mertua Trunajaya—karena putrinya dinikahi oleh bangsawan Madura itu—Kajoran menjadi penasihat utama dalam pemberontakan besar yang dimulai tahun 1674 dan mencapai puncaknya pada 1677 dengan direbutnya Keraton Pleret.

Raden Kajoran bukan hanya seorang penasihat spiritual. Dalam catatan VOC dan kronik Jawa, ia disebut sebagai otak dari gerakan penghancuran terhadap pusat kekuasaan Mataram yang korup dan dekaden di bawah Sunan Amangkurat I. Setelah keraton Pleret jatuh dan harta dirampas Trunajaya, Raden Kajoran justru memilih tidak tinggal di istana, melainkan kembali ke Tembayat. Pilihan ini mencerminkan karakter asketis dan tidak haus kekuasaan, sekaligus memperlihatkan bahwa bagi Kajoran, perjuangan adalah bentuk penegakan keadilan spiritual dan moral, bukan ambisi kekuasaan.

Menurut catatan Belanda seperti yang dimuat dalam artikel JatimTimes.com (9 Oktober 2023), VOC melihat peran Raden Kajoran sangat strategis: dialah yang menyusun siasat agar pasukan pemberontak tidak sekadar menyerang tetapi benar-benar menghancurkan pusat pemerintahan Mataram. Hal ini diperkuat oleh laporan-laporan pejabat VOC seperti Rijcklof van Goens dan Jan Albert Sloot.

Pasca keberhasilan pemberontak menguasai Keraton Pleret, situasi politik berubah secara cepat dan drastis. Trunajaya tidak menetap di istana, melainkan membawa harta rampasan ke Kediri. Sementara itu, Amangkurat I wafat dalam pelarian pada pertengahan tahun 1677, dan takhta kemudian dilanjutkan oleh putranya, Amangkurat II, yang segera meminta bantuan militer VOC untuk merebut kembali kekuasaan.

Raden Kajoran memilih mundur ke daerah asalnya di Tembayat, Klaten, sambil tetap menjaga wibawa religiusnya dan menjadi simbol perlawanan spiritual terhadap kekuasaan baru yang dikendalikan oleh Belanda.

Pada 1679, VOC yang bersekutu dengan Amangkurat II dan pasukan Bugis pimpinan Arung Palakka mulai memburu para pemimpin pemberontakan yang tersisa. Dalam ekspedisi besar ke arah pedalaman Jawa bagian tengah, pasukan gabungan itu dipimpin oleh Jan Albert Sloot dan tokoh Jawa bernama Sindu Reja.

Puncak dari pengejaran itu terjadi di daerah Mlambang, tidak jauh dari Pajang (wilayah sekitar Solo sekarang). Dalam pertempuran ini, pasukan Raden Kajoran yang jumlahnya kecil dan kurang persenjataan, berhasil dikalahkan. Ia sendiri ditangkap hidup-hidup.

Namun, meskipun telah menyerah, Raden Kajoran tidak diberi pengampunan. Jan Albert Sloot, komandan Belanda yang dikenal keras, memutuskan bahwa Raden Kajoran terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup. Dalam laporan Belanda disebutkan bahwa ia dieksekusi di tempat, tepat pada tanggal 14 September 1679.

Eksekusi itu bukan hanya akhir hidup seorang ulama-pemberontak, tetapi juga sinyal dari VOC bahwa mereka tidak akan mentoleransi para tokoh kharismatik yang mampu memobilisasi perlawanan rakyat atas nama agama dan keadilan.

Wafatnya Raden Kajoran menandai akhir dari satu babak penting dalam sejarah pemberontakan melawan hegemoni dinasti Mataram yang telah melemah akibat korupsi dan represifitas Amangkurat I, sekaligus awal dari keterlibatan penuh VOC dalam urusan internal kerajaan Jawa. Ia menjadi simbol dari resistensi religius terhadap rezim yang dianggap lalim dan boneka asing.

Warisan dan Penilaian Historiografis

Historiografi kolonial cenderung memarginalkan tokoh seperti Kajoran, yang sulit dikendalikan dan tak bisa diklasifikasikan sebagai sekutu atau musuh semata. Dalam sejarah Jawa, ia pun terjebak antara stigma pemberontak dan santri karismatik. Namun dalam konteks sejarah sosial-politik Jawa abad ke-17, Kajoran adalah simbol perlawanan kultural terhadap sentralisasi kekuasaan Mataram dan kolonialisme VOC.

Warisan Kajoran hidup dalam tokoh-tokoh perlawanan pasca-1677. Nama seperti Wanakusuma, yang berjuang hingga 1680-an, adalah penerus semangat Tembayat. Bahkan Adipati Nerangkusuma yang anti-Belanda memiliki darah Kajoran.

Kajoran adalah bukti bahwa sejarah Jawa bukan hanya soal istana, tetapi juga soal jaringan santri, pertapa, dan bangsawan daerah yang menolak tunduk pada narasi tunggal kekuasaan. Ia menjadi sosok yang menjembatani spiritualitas, politik, dan genealogi dalam satu figur.

Melalui pendekatan historiografi kritis dan pembacaan lintas sumber—baik babad, arsip Belanda, maupun silsilah lokal—Raden Kajoran muncul sebagai tokoh kunci dalam pergolakan Mataram abad ke-17. Ia bukan sekadar pertapa, tetapi negarawan alternatif. Bukan hanya pemberontak, tetapi juga penjaga warisan spiritual Tembayat. Dalam denyut sejarah, namanya menggema dari pedalaman Kajoran hingga halaman-halaman dokumen VOC, dari laku asketik hingga siasat politik yang mengubah wajah kekuasaan Jawa.

Raden Kajoran, bukanlah nama biasa. Ia adalah representasi dari kesinambungan trah spiritual dan politik, yang dalam historiografi Jawa disebut sebagai keturunan setengah raja, setengah ulama. Sebuah posisi yang menempatkannya dalam poros kekuasaan—baik dalam ranah kerajaan maupun jaringan tarekat mistik di Jawa bagian tengah.

Dalam historiografi modern, nama Raden Kajoran jarang disebut dalam arus utama sejarah nasional. Namun jejaknya tetap hidup di kalangan pesantren, dalam tradisi lisan masyarakat Tembayat dan sekitarnya, serta dalam studi-studi akademik mengenai Islam Jawa dan dinamika politik abad ke-17.

Penulis berpendapat bahwa peran Raden Kajoran perlu diangkat kembali sebagai bagian penting dari sejarah perlawanan lokal yang sarat dengan dimensi spiritual, politik, dan kultural.

Ketika jejak fisik bangunan Kajoran mulai lenyap dimakan waktu dan cuaca, historiografi menjadi satu-satunya jalan untuk menjaga eksistensi mereka. Dengan membaca ulang babad, mencocokkan dengan arsip Belanda, dan mendengarkan narasi lokal dari keturunan serta penjaga makam, kita bisa menyusun ulang mosaik sejarah Kajoran. Bukan hanya sebagai catatan tentang pemberontakan, tetapi sebagai kisah perlawanan spiritual, narasi tandingan kekuasaan, dan warisan politik Islam Jawa yang tak dapat dihapus begitu saja dari ingatan Nusantara.

Kajoran, dengan segala kemegahan masa silam dan kegetiran penindasan, tetap hidup dalam ziarah, cerita rakyat, dan pusara yang menyimpan denyut masa lalu. Jejaknya adalah pelajaran berharga tentang bagaimana suatu trah memilih mati dengan kehormatan ketimbang tunduk tanpa harga diri. Dan di sanalah, pada batu-batu nisan sunyi itulah, sejarah yang tak tertulis mulai bersuara.