Terkena Genangan Air saat Hujan, Pakaian Jadi Najis? Begini Penjelasan Ulama

Reporter

Mutmainah J

Editor

Yunan Helmy

15 - Nov - 2025, 06:03

Genangan air hujan. (Foto: Pixabay)

JATIMTIMES - Akhir-akhir ini hujan terus mengguyur berbagai wilayah di Indonesia. Saat curah hujan tinggi, genangan air muncul di mana-mana, mulai dari jalan raya, selokan, hingga area sekitar rumah. 

Air hujan yang suci dan membawa rahmat sering bercampur dengan air comberan atau luapan got yang kotor. Dalam kondisi tersebut, sangat sulit, bahkan hampir mustahil, untuk menghindari percikan air yang mengenai pakaian maupun tubuh.

Baca Juga : Air Hujan di Malang Tercemar Mikroplastik, ECOTON Minta Pemkot Ambil Langkah Ini

Kenyataan inilah yang membuat sebagian orang bertanya: apakah percikan genangan yang kemungkinan bercampur najis dapat membatalkan kesucian untuk salat? Mengingat syarat sah salat adalah sucinya badan, pakaian, dan tempat.

Untuk menjawab kegelisahan ini, para ulama telah membahasnya secara jelas dalam kitab-kitab fikih. Melansir penjelasan dari NU Online, terdapat beberapa jenis najis yang dimaafkan karena sulit dihindari, terutama yang muncul akibat hujan.

Najis yang Sulit Dihindari Termasuk Dimaafkan

Para ulama fikih telah membahas persoalan ini secara mendalam sejak berabad-abad lalu. Dalam kitab Al-Wajiz (Syarhul Kabir), Imam Al-Ghazali memberikan keterangan yang menjadi dasar penting dalam memahami hukum percikan air hujan di jalanan.

“Pakaian yang terkena percikan lumpur maupun air di jalan karena sulitnya menghindarkan diri darinya, maka hal ini dimaafkan," bunyi keterangan Imam Al-Ghazali.

Artinya, ketika seseorang berjalan di jalanan yang becek dan terkena percikan air atau lumpur yang tidak diketahui asal-usulnya — apakah suci atau najis — maka percikan tersebut tidak membatalkan kesucian. Alasannya jelas: karena sulit dihindari dan tidak mungkin seseorang bisa selalu memeriksa setiap titik air di jalan.

Dalam konteks kehidupan modern, hal ini sangat relevan. Di tengah padatnya lalu lintas dan kondisi jalan yang tergenang, mustahil seseorang bisa memastikan bahwa setiap percikan air yang mengenai pakaiannya adalah suci. Maka, Islam memberikan keringanan (rukhsah) agar umat tidak kesulitan dalam menjalankan ibadah.

Jika Percikan Dipastikan Najis, Apa Hukumnya?

Bagaimana jika seseorang mengetahui dengan yakin bahwa genangan air itu berasal dari sumber najis — misalnya dari got, comberan, atau air limbah yang berbau dan kotor? Dalam hal ini, Imam Ar-Rafi’i memberikan penjelasan tambahan dalam kitab Al-Aziz Syarhul Wajiz.

"Jika diyakini jalan tersebut ada najisnya, maka hukumnya dimaafkan jika percikan tersebut hanya sedikit. Namun jika percikan tersebut banyak, maka tidak dimaafkan sebagaimana najis-najis lainnya," bunyi keterangan Imam Ar-Rafi'i.

Dari pendapat ini, para ulama menyimpulkan dua ketentuan penting:

• Percikan sedikit → Dimaafkan, salat tetap sah.

• Percikan banyak → Tidak dimaafkan, wajib dibersihkan sebelum salat.

Jadi, kuncinya terletak pada kadar percikan dan keyakinan seseorang terhadap sumbernya. Jika percikan itu hanya sedikit dan sulit dihindari, maka tidak ada kewajiban untuk mencuci pakaian atau mengulang salat. Namun jika jelas banyak dan berasal dari sumber najis, maka pakaian harus disucikan terlebih dahulu.

Mengapa Najis Sedikit Dimaafkan oleh Syariat

Dalam pandangan fikih Islam, setiap hukum memiliki alasan (‘illah) yang berakar pada kemaslahatan umat. Begitu pula dengan ketentuan tentang najis sedikit yang dimaafkan. Para ulama menjelaskan beberapa sebab di balik keringanan ini:

1. Sulit Dihindari

Ketika hujan deras turun, percikan air dari kendaraan, jalan berlumpur, dan genangan di berbagai tempat sulit sekali dihindari. Menuntut setiap orang untuk mencuci pakaiannya setiap kali terkena percikan tentu akan menyulitkan.

2. Memberatkan Umat

Baca Juga : Hujan Deras Disertai Angin Sebabkan Pohon Tumbang, Polresta Banyuwangi Gerak Cepat Penanganan Darurat

Tidak semua orang memiliki pakaian ganti atau fasilitas untuk mencuci dengan mudah. Ada kalanya seseorang sedang bekerja di luar rumah, bepergian, atau hanya memiliki satu pakaian. Karena itu, syariat memberikan kemudahan agar ibadah tetap dapat dilakukan.

3. Prinsip Islam: Tidak Memberatkan

Islam menegaskan bahwa agama ini diturunkan bukan untuk membebani, melainkan untuk memudahkan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Allah tidak ingin menjadikan kesulitan bagi kamu dalam agama.” (QS. Al-Ma’idah: 6)

Maka, wajar jika percikan najis sedikit yang sulit dihindari dimaafkan oleh syariat.

Berdasarkan pendapat para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Ar-Rafi’i, dapat disimpulkan:

• Air hujan yang bercampur kotoran dan tidak jelas asalnya → Dimaafkan, salat tetap sah.

• Percikan yang diyakini najis tetapi hanya sedikit → Dimaafkan, tidak perlu dicuci.

• Percikan yang diyakini najis dan banyak → Tidak dimaafkan, wajib disucikan sebelum salat.

Keringanan ini menunjukkan betapa Islam adalah agama yang seimbang, memadukan antara menjaga kesucian dan meringankan beban umat. Dalam kondisi alam yang sulit dikendalikan, seperti musim hujan, Islam memberikan ruang kelonggaran agar ibadah tetap bisa dijalankan tanpa beban berlebih.

Musim hujan adalah anugerah yang membawa berkah, bukan penghalang ibadah. Percikan air hujan yang mungkin mengandung kotoran tidak serta-merta membuat seseorang najis atau salatnya tidak sah, selama masih dalam batas wajar dan sulit dihindari.

Karena itu, umat Islam tidak perlu berlebihan dalam bersikap, tetapi juga tetap berhati-hati menjaga kebersihan diri dan pakaian. Dengan memahami kaidah fikih ini, kita dapat menjalani ibadah dengan tenang, yakin, dan sesuai tuntunan ulama.