Ziarah Prajurit Surakarta ke Kota Blitar: Membaca Ulang Relasi Keraton dan Bung Karno dalam Lahirnya Republik
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
17 - Nov - 2025, 04:04
JATIMTIMES - Pada Minggu pagi 9 November 2025, barisan prajurit Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memasuki kompleks makam Bung Karno, Kota Blitar, dengan langkah teratur dan penuh wibawa. Kunjungan itu tidak sekadar agenda budaya, tetapi sebuah ritus yang menyingkap akar sejarah Indonesia modern.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Blitar menyambut rombongan tersebut sebagai tamu kehormatan yang membawa napas panjang tradisi Jawa, sekaligus menghadirkan kembali jejak historis hubungan antara Keraton Surakarta dan Ir Soekarno, presiden Plpertama Republik Indonesia.
Baca Juga : Dinkes Blitar Maksimalkan DBHCHT untuk Bangun dan Renovasi Pustu di Empat Kecamatan
Prosesi ziarah berlangsung khidmat. Para prajurit memasuki area pesarean dengan tatapan tunduk, membawa bunga tabur yang mencerminkan hormat mereka kepada tokoh bangsa yang pernah menandatangani satu keputusan penting bagi keberlangsungan Keraton Surakarta pada 1945. Di bawah langit Kota Blitar yang teduh, tradisi dan sejarah bertemu dalam satu ruang yang sarat makna.
Pelaksana Tugas Kepala Disbudpar Kota Blitar Rike Rachmawati menyatakan bahwa pemerintah daerah menyambut kunjungan ini sebagai bentuk penghormatan antarkomunitas budaya. Ia menegaskan bahwa ziarah tersebut memperlihatkan bagaimana nilai kultur Jawa terus hidup dan berinteraksi dengan ingatan nasional. “Kami memfasilitasi kegiatan ini sebagai upaya menjaga kesinambungan tradisi dan memperkuat peran Kota Blitar sebagai ruang edukasi sejarah,” ujarnya.

Jejak Panjang Relasi: Soekarno dan Surakarta 1945
Ziarah para sentana dan prajurit Keraton Surakarta bukanlah ritual kosong tanpa makna. Di balik langkah-langkah para abdi dalem itu, tersimpan lapisan sejarah yang mempertemukan Surakarta Hadiningrat dengan Bung Karno pada detik-detik awal republik berdiri. Hubungan historis tersebut tidak bersandar pada cerita lisan semata, melainkan tercatat jelas dalam dokumen resmi negara: Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tertanggal 19 Agustus 1945, hanya dua hari setelah proklamasi kemerdekaan. Melalui SK itu, Presiden Soekarno mengukuhkan Susuhunan Pakubuwono XII, sebagai pemimpin Surakarta dengan kepercayaan penuh bahwa sang raja akan mencurahkan “segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga” bagi keselamatan Surakarta sebagai bagian integral Republik Indonesia.
Peneguhan negara terhadap posisi Pakubuwono XII ini berjalan seiring dengan langkah politik sang raja sendiri. Tidak sampai dua minggu setelah SK Presiden diterbitkan, pada 1 September 1945, Pakubuwono XII mengeluarkan sebuah maklumat penting: Makloemat Sri Padoeka Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan yang ditujukan kepada seluruh penduduk Surakarta Hadiningrat.

Dalam maklumat itu, sang raja menegaskan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat sebagai kerajaan merupakan daerah istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia. Ia menyatakan bahwa Surakarta “berdiri di belakang pemerintah pusat Republik Indonesia,” sebuah sikap politik yang menunjukkan keberpihakan penuh Keraton Surakarta kepada pemerintahan nasional yang baru berdiri.
Lebih jauh, Pakubuwono XII menyatakan bahwa seluruh kekuasaan dalam wilayah Surakarta Hadiningrat secara prinsip berada di tangan Susuhunan. Namun, mengingat situasi transisi dan kondisi darurat pada awal kemerdekaan, Pakubuwono XII meluruskan bahwa kekuasaan-kekuasaan yang sebelumnya tidak berada di tangan raja kini “dengan sendirinya kembali” kepada beliau sebagai penguasa tertinggi wilayah. Penegasan ini menunjukkan upaya Keraton Surakarta untuk menata ulang struktur kekuasaan internalnya dalam kerangka negara Republik.
Maklumat itu juga menegaskan bahwa hubungan antara Surakarta dan pemerintah pusat bersifat langsung, tanpa perantara. Dalam mukadimah maklumat tersebut, Pakubuwono XII memerintahkan sekaligus menaruh kepercayaan bahwa seluruh penduduk Surakarta akan bersikap sesuai dengan perintah yang telah disampaikan melalui sabdanya.
Seluruh pernyataan itu ditandatangani langsung oleh Paku Buwono XII, menandai lahirnya komitmen politik Keraton Surakarta kepada Republik Indonesia yang masih sangat muda.
Dibaca bersama-sama, dua dokumen Surat Keputusan Presiden Soekarno (19 Agustus 1945) dan maklumat Pakubuwono XII (1 September 1945) membentuk satu rangkaian utuh yang memuat pengakuan timbal balik antara simbol negara modern dan simbol negara tradisional Jawa. Soekarno memberikan legitimasi politik kepada sang raja, sementara Pakubuwono XII meneguhkan posisi Surakarta sebagai daerah istimewa yang berdiri tegak di belakang Republik.
Inilah konteks historis yang membuat ziarah para sentana dan prajurit Keraton Surakarta hari ini tidak pernah menjadi sekadar ritual. Ziarah itu menjadi pengingat bahwa Surakarta memiliki bab penting dalam pembentukan Republik, sebuah bab yang ditulis melalui pena raja dan presiden pada hari-hari paling awal kemerdekaan.
Dokumen ini menunjukkan bahwa Surakarta merupakan salah satu pusat kekuasaan lokal yang diharapkan berperan dalam menopang negara baru yang masih rapuh. Pada masa-masa awal Revolusi 1945–1949, Surakarta bukan sekadar simbol kerajaan, tetapi juga institusi sosial yang mengelola sumber daya riil. Sejarawan Sri Juari dalam Suara Nurani Keraton (2002) menggambarkan bahwa Keraton Surakarta “selalu memberikan bantuan materiil, baik berwujud uang maupun barang”, bagi kepentingan perjuangan. Surat-surat yang tercatat menunjukkan Keraton mengalirkan dana kepada Komando Staf Divisi II, membantu logistik Hari Angkatan Perang, dan menyuplai makanan serta pakaian kepada penduduk miskin maupun pejuang Republik.
Lebih jauh, Keraton Surakarta menjalankan berbagai program sosial di tengah gejolak revolusi: membuka dapur umum, mendirikan balai pengobatan, memberantas penyakit cacar, hingga menciptakan lapangan kerja melalui DPU Kartipraja. Keraton juga meminjamkan bangunan-bangunannya kepada institusi negara: Pagelaran untuk UNS, Sitihinggil bagi ASKI, rumah-rumah pekapalan untuk instansi pemerintahan, dan gedung-gedung lain untuk sekolah-sekolah dan kepolisian. Bantuan berlangsung konsisten setidaknya hingga 1951.
Relasi historis inilah yang menjadikan ziarah hari ini bukan sekadar prosesi budaya. Ada memori kolektif yang tertanam sejak masa revolusi, ketika Surakarta berdiri sebagai salah satu penopang moral dan logistik kemerdekaan.

Makna Ziarah Prajurit: Ritus, Spiritualitas, dan Politik Ingatan
Baca Juga : Wali Kota Blitar Sampaikan Strategi Fiskal 2026 di Paripurna DPRD: Efisiensi, PAD, dan Ekonomi Produktif
Pangarsa Prajurit Keraton Surakarta, Kanjeng Pangeran Pandji Prawiroyudho, menegaskan bahwa kunjungan mereka merupakan bagian dari kewajiban kultural keraton untuk menjaga hubungan historis dengan tokoh-tokoh yang berjasa bagi Republik. Ia menyampaikan bahwa ziarah ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian nilai-nilai budaya Jawa. “Kami datang membawa hormat, mendoakan leluhur bangsa, dan menjaga hubungan sejarah antara Keraton Surakarta dan Bung Karno,” ujarnya.
Dalam perspektif historiografi kritis, prosesi semacam ini dapat dibaca sebagai praktik spiritual sekaligus politik. Tradisi ziarah bagi prajurit keraton tidak hanya menata hubungan dengan masa lalu, tetapi juga memperkuat legitimasi kultural Keraton Surakarta sebagai institusi yang tetap relevan dalam lanskap Indonesia kontemporer. Melalui ziarah, keraton “menghadiri” kembali panggung sejarah nasional dan menyampaikan pesan bahwa kekuatan budaya Jawa masih berada dalam orbit republik.
Dari sisi ideologi, Soekarno sendiri kerap menempatkan budaya Jawa sebagai akar identitas nasional. Kedekatan pikirannya dengan simbolisme keraton, terutama nilai manunggaling kawula–gusti dan pemahaman spiritual tentang kepemimpinan, menjelaskan mengapa relasi antara dirinya dan Surakarta bersifat organik. Maka kunjungan para prajurit ini dapat dianggap sebagai kelanjutan simbolis dari hubungan ideologis yang berakar sejak 1945.

Museum Bung Karno: Ruang Ingatan yang Hidup
Usai ziarah di makam Bung Karno, rombongan prajurit melanjutkan perjalanan menuju Museum Bung Karno yang berada hanya beberapa ratus meter dari pesarean. Di museum itu mereka menyusuri jejak kehidupan sang proklamator melalui koleksi benda pribadi: jas yang dikenakan Soekarno ketika mempersiapkan kemerdekaan, koper yang dibawanya saat keluar-masuk tahanan kolonial, hingga keris-keris yang memperlihatkan kedekatannya dengan simbol-simbol budaya Jawa.
Benda-benda tersebut membentuk narasi material tentang perjalanan seorang pemimpin yang menautkan pemikiran modernisme politik dengan spiritualitas Jawa. Museum menjadi titik penting dalam ziarah, sebab di sinilah ingatan personal Bung Karno dirawat bukan hanya melalui kata-kata sejarah, melainkan melalui objek yang pernah menyentuh hidupnya secara langsung.
Bagi para prajurit keraton, museum menjadi ruang dialog antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi istana Jawa yang mapan dan gagasan kebangsaan modern yang diperjuangkan Bung Karno. Pada momen inilah ziarah menjadi dokumenter yang menghubungkan benda, teks sejarah, dan pengalaman langsung.

Makna Peristiwa dalam Konteks Zaman
Dalam lanskap sejarah Indonesia, ziarah prajurit Keraton Surakarta ke Makam Bung Karno dapat dibaca sebagai upaya memulihkan sekaligus menegaskan kembali posisi institusi budaya dalam narasi nasional. Di tengah arus modernisasi dan komersialisasi budaya, Keraton Surakarta menunjukkan bahwa lembaga ini tetap menjadi penjaga memori sejarah yang otentik. Adapun Kota Blitar, melalui Disbudpar, menegaskan perannya sebagai ruang pertemuan antara sejarah republik dan sejarah budaya Jawa.
Perlawanan rakyat pada masa revolusi 1945–1949 tidak hanya ditopang oleh senjata, tetapi juga oleh spiritualitas budaya yang menghidupi masyarakat Jawa. Bantuan Keraton Surakarta kepada para pejuang bukan semata bentuk dukungan materi, melainkan cerminan dari ideologi kebangsaan awal yang memandang republik sebagai kelanjutan nilai-nilai adiluhung Jawa.
Ziarah hari ini, dengan demikian, menjadi cermin kesinambungan sejarah yang tidak pernah padam. Ia adalah upaya menjaga api ingatan agar tetap menyala ketika bangsa ini terus menata arah masa depannya. “Kami datang untuk merawat jejak sejarah itu,” ujar Kanjeng Pangeran Pandji Prawiroyudho, menegaskan bahwa tradisi dan nasionalisme bukan dua dunia yang terpisah, melainkan saling menguatkan.
