JATIMTIMES- Dalam lintasan sejarah Islam di Nusantara, Sunan Giri Prapen atau Sunan Prapen dari Giri Kedaton tampil sebagai figur sentral. Sosoknya menjembatani pengaruh spiritual Wali Songo dengan dinamika politik kerajaan-kerajaan Jawa dan kawasan maritim Indonesia pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17.
Merangkum berbagai sumber, figur yang juga disebut sebagai Susuhunan Parapen ini adalah cucu dari Raden Paku alias Sunan Giri (Prabu Satmata). Dia penerus utama ajaran Sunan Ampel dan pemimpin Giri Kedaton, pusat dakwah Islam yang berkembang menjadi kekuatan religio-politik tersendiri di Jawa Timur.
Baca Juga : Tanah Longsor di Tulungrejo Tutup Akses Jalan Menuju Pura Luhur Giri Arjuno Kota Batu
Dalam corak historiografi lokal maupun kolonial, Sunan Prapen muncul sebagai sosok ulama-ulama istana yang tidak hanya terlibat dalam membentuk kesalehan individual. Melainkan juga memainkan peran penting dalam menata ulang legitimasi kekuasaan politik pasca keruntuhan Demak dan munculnya kerajaan-kerajaan baru seperti Pajang, Mataram, hingga pengaruhnya yang jauh menjangkau luar Jawa seperti Lombok, Bali, Sulawesi, dan Ambon.
Menurut catatan silsilah kuno bertajuk Uit de overlevering van het geheiligde Grissee (naskah koleksi KITLV no. H 141), Sunan Giri memiliki garis penerus dimulai dari Sunan Dalem, lalu digantikan oleh putranya, Sunan Seda Margi, dan selanjutnya diteruskan oleh adiknya, yaitu Sunan Prapen.
Menurut data yang langka namun diperkuat oleh catatan Wiselius dalam tulisan bertajuk “Historisch,” Sunan Prapen mulai memerintah sekitar tahun 1553 dan berakhir pada tahun 1587. Namun GP Rouffaer, dalam riset historiografinya berjudul “Giri,” memperpanjang rentang waktu hidup dan aktivitas Sunan Prapen hingga 1605, dengan alasan bahwa figur "pendeta tertinggi orang Hindia di Jawa" yang disebutkan oleh pelaut dunia Olivier van Noort dalam perjalanannya pada Februari 1601 kemungkinan besar merujuk kepada sosok Sunan Prapen.
Dalam catatan Van Noort, ia menyebutkan telah bertemu dengan seorang pendeta berumur 120 tahun di luar kota Gresik, seorang tokoh suci yang memiliki pengaruh luar biasa terhadap masyarakat pesisir utara Jawa, terutama dalam urusan spiritual.
Ziarah politik Sultan Hadiwijaya dari Pajang ke Giri pada sekitar tahun 1581 Masehi menjadi salah satu bukti nyata akan posisi sentral Giri Kedaton di bawah kepemimpinan Sunan Prapen. Dalam rombongan besar yang menyertai sang Sultan turut hadir para elit lokal seperti Ki Ageng Pamanahan dari Mataram dan para bupati dari daerah penting seperti Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati.
Peristiwa ini tak hanya menjadi momentum spiritual, tetapi juga tindakan simbolis dalam memperkuat legitimasi kekuasaan Sultan Pajang yang saat itu belum sepenuhnya kokoh pasca keruntuhan Demak. Dalam kacamata historiografi Jawa, restu dari Sunan Giri dianggap lebih bermakna ketimbang sekadar pengakuan dari penguasa duniawi, karena Giri memegang otoritas moral yang menjembatani langit dan bumi.
Peran Sunan Prapen tidak berhenti di batas geografis Jawa. Dalam Babad Lombok disebutkan bahwa beliau adalah tokoh utama yang menyebarkan Islam ke Pulau Lombok, bahkan disebut telah memaksa sebagian penduduk untuk memeluk agama Islam. Proses Islamisasi yang agresif ini kemudian menimbulkan ketegangan politik, hingga Raja Lombok kala itu memindahkan istananya ke Selaparang.
Ini menjadi indikasi bagaimana proyek dakwah Islam yang dilakukan Giri tidak selalu berjalan damai, melainkan sering kali bersinggungan dengan otoritas lokal yang masih mempertahankan sistem kepercayaan pra-Islam. Bahkan dalam tradisi lisan masyarakat Bali, terdapat kisah dalam Kidung Pamancangah yang menggambarkan bagaimana Raja Mataram dan Pasuruan sempat meledek Raja Bali, Batu Renggong, dengan lagu sindiran yang membandingkannya dengan jangkrik aduan.
Batu Renggong membalasnya dengan kisah datangnya utusan dari Mekkah yang hendak mengislamkan dirinya dengan menawarkan gunting dan alat cukur—simbol penyucian diri dalam Islam—namun kemudian ditolak secara kasar.
Kisah tersebut, walaupun sarat metafora, menggambarkan pertemuan budaya dan konflik ideologis antara ekspansi Islam dan pertahanan identitas lokal. Dalam konteks ini, Sunan Prapen sebagai pemimpin spiritual utama Giri dapat dibaca sebagai simbol penetrasi ideologis Islam yang mencoba menjangkau kawasan-kawasan yang belum tersentuh dakwah secara sistematis.
Giri, sebagaimana dicatat oleh ahli sejarah Islam seperti Kern dan Cense, juga terlibat secara tidak langsung dalam Islamisasi wilayah Sulawesi bagian barat daya. Seorang mubalig dari Minangkabau, Dato ri Bandang, yang tidak jelas asal usulnya secara rinci, disebut dalam Babad Lombok sebagai murid dari Susuhunan Giri.
Ini memperlihatkan bahwa jaringan dakwah Giri bukan hanya bersifat lokal, melainkan telah menjalin koneksi trans-regional, dari Gresik ke Sulawesi, melalui jalur laut yang telah sejak lama menghubungkan komunitas Islam pesisir.
Catatan penting lainnya adalah peristiwa pada tahun 1565 ketika penduduk Hitu di Semenanjung Ambon mengadakan perjanjian pertahanan dengan Raja Giri untuk menghadapi tekanan Portugis. Giri kemudian mengirim pasukan Jawa ke wilayah tersebut, yang bermukim selama tiga tahun dan bahkan mendirikan basis pertahanan bernama Cotta Java.
Meskipun secara militer kampanye ini dinilai gagal dan tidak membawa hasil strategis, namun dalam konteks politik identitas, peristiwa ini menandai bahwa Giri bukan sekadar pusat keilmuan Islam, tetapi juga aktor militer dan diplomatik dalam percaturan geopolitik maritim. Dalam jangka panjang, hubungan antara Hitu dan Giri terus terjalin erat bahkan hingga abad ke-17.
Dalam ranah historiografi kolonial dan lokal, figur Sunan Prapen seringkali tenggelam oleh narasi besar dinasti Mataram Islam. Namun, bila dicermati lebih dalam, keberadaan Sunan Prapen dan Giri Kedaton justru menjadi salah satu fondasi penting dalam proses konsolidasi Islam dan legitimasi kekuasaan di Jawa Timur hingga Nusa Tenggara.
Jika Dinasti Mataram memperkuat hegemoninya lewat kekuatan militer dan sistem patronase istana, maka Giri menjalankan hegemoni kultural dan spiritual yang berdampak jauh lebih luas dalam jangka panjang. Seperti yang dicatat oleh penulis, kekuatan simbolik dan memori kolektif sering kali lebih kuat pengaruhnya daripada sekadar struktur kekuasaan resmi.
Dengan demikian, Sunan Prapen dari Giri tidak hanya layak dikenang sebagai seorang ulama, tetapi sebagai arsitek peradaban Islam maritim yang menghubungkan pesisir utara Jawa dengan denyut Islamisasi di luar Jawa. Ia menjadikan Giri bukan hanya mihrab tempat doa didirikan, tetapi juga mercusuar tempat cahaya pengetahuan dan legitimasi kekuasaan dipancarkan ke seantero Nusantara.
Maka, dalam lanskap sejarah Indonesia awal modern, Giri Kedaton di bawah Sunan Prapen bukanlah periferi, melainkan episentrum religius yang memengaruhi arah zaman dan bentuk kerajaan-kerajaan yang lahir sesudahnya.
Sunan Giri Prapen dan Ramalan yang Mengubah Tanah Jawa
Dalam lanskap sejarah Jawa abad ke-16, sebuah peristiwa penting terjadi saat Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, bersama para bupati dari wilayah timur—termasuk Ki Ageng Pamanahan dari Mataram—berangkat ke Giri Kedaton untuk mendapatkan pengesahan kekuasaan dari otoritas spiritual tertinggi masa itu: Sunan Giri Prapen.
Dalam kunjungan ini, Giri bukan hanya menjadi tempat legitimasi kekuasaan, tetapi juga saksi lahirnya ramalan yang akan mengubah peta kekuasaan di tanah Jawa. Ramalan itu menyebut bahwa keturunan Pamanahan kelak akan memerintah seluruh rakyat Jawa, termasuk Giri.
Baca Juga : Arti penting pembagian kekuasaan Jabatan Politis-Jabatan Struktural
Peristiwa ini dicatat dalam berbagai sumber historiografi Jawa, seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, laporan Raffles, dan catatan kolonial Hageman. Namun, perbedaan versi, penekanan simbolik, dan bias politik menjadikan narasi ini tidak tunggal, melainkan kaya akan interpretasi.
Giri Kedaton, didirikan oleh Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin), sejak abad ke-15 telah berkembang sebagai pusat otoritas moral Islam Jawa. Giri tidak hanya menjadi lembaga keagamaan, melainkan juga semacam "kerajaan spiritual" yang memiliki hak istimewa untuk menobatkan atau mencabut legitimasi para penguasa duniawi.
Tradisi ini berlanjut pada masa Sunan Giri Prapen (sekitar 1545–1605), yang dikenal sebagai Raja Pendeta dengan pengaruh kuat dalam politik Islam Jawa, bahkan setelah runtuhnya Kesultanan Demak.
Ketika Pajang muncul sebagai kekuatan baru di bawah Raden Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), pengesahan dari Giri tetap dianggap vital. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sistem politik Islam-Jawa kala itu, kekuasaan sekuler perlu diimbangi dan dilegitimasi oleh kekuasaan spiritual.
Menurut Babad Tanah Djawi, pada tahun 1581 M (1503 J), Sultan Hadiwijaya dan para bupati wilayah timur seperti Kediri, Pasuruan, Tuban, hingga Ki Ageng Pamanahan dari Mataram, melakukan perjalanan ke Giri untuk memperoleh pengesahan dari Sunan Giri Prapen. Peristiwa ini penting secara politis dan religius, memperlihatkan bahwa Giri adalah sumber legitimasi tertinggi dalam struktur kekuasaan Jawa kala itu.
Sunan Giri Prapen akhirnya mengesahkan Hadiwijaya sebagai Sultan Pajang. Namun yang menarik, perhatian sang Raja Pendeta justru tertuju pada Ki Ageng Pamanahan, yang datang dengan sikap rendah hati. Ia duduk paling belakang, tidak menonjolkan diri, dan menunjukkan kesopanan luar biasa. Tindakan ini menarik perhatian Giri Prapen, yang memanggilnya dan mengucapkan sebuah ramalan monumental:
“Keturunan Ki Gede Mataram kelak akan memerintah seluruh rakyat Jawa. Bahkan Giri pun akan tunduk pada Mataram.”
Ramalan ini bukan sekadar kata-kata spiritual, tetapi penanda arah sejarah. Ia menjadi semacam "fatwa ilahiah" yang memberi restu pada munculnya dinasti baru. Dan benar, kurang dari tiga dekade kemudian, putra Pamanahan—Panembahan Senapati—mendirikan Kerajaan Mataram Islam dan menggantikan Pajang sebagai kekuatan utama di tanah Jawa.
Sumber lain, seperti catatan kolonial Hageman, mencatat peristiwa yang sama namun tanpa menyebut ramalan. Ia lebih menekankan peran politik Sultan Hadiwijaya yang disambut para bupati dan menunjuk Panji Wiryakrama dari Surabaya sebagai wali negara. Sunan Giri Prapen tetap hadir, tetapi tanpa aura spiritual sebesar yang dikisahkan dalam Babad. Ini bisa mencerminkan pendekatan rasionalistis kolonial atau upaya mengurangi peran legitimasi spiritual dalam sejarah Mataram.
Namun perbedaan narasi justru memperkuat pemahaman bahwa sejarah Jawa dibentuk dari perpaduan antara kekuatan spiritual dan politik. Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, yang berasal dari lingkaran Mataram, menonjolkan legitimasi spiritual melalui simbolisme ramalan Giri, sementara Hageman merekamnya sebagai peristiwa politik biasa.
Selain menjadi tokoh spiritual, Sunan Giri Prapen juga aktif secara politik. Dalam Babad Sangkala (1470 J/1548 M) dan laporan Raffles, disebutkan bahwa Giri melakukan ekspedisi ke Kediri. Tahun 1549, Raja Giri disebut tiba di Kadiri, lalu menaklukkannya tahun 1552. Bahkan, pada 1551, Kediri terbakar habis, dan pada 1577, Adipati Kediri hilang setelah memeluk Islam. Tahun 1579, Kediri resmi menjadi pengikut Muhammad. Ini membuktikan bahwa Giri bukan hanya pusat spiritual, tetapi juga pemain aktif dalam politik dan militer regional.
Pasca kunjungan ke Giri, muncul kekhawatiran di kalangan Pajang. Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya, merasa waspada terhadap potensi kebangkitan Mataram. Namun Hadiwijaya memilih tidak melawan “restu spiritual” yang telah diucapkan Giri. Ia tahu bahwa melawan ramalan berarti melawan kehendak langit.
Di sisi lain, Ki Ageng Pamanahan memperkuat Mataram dengan menetapkan empat aturan penting, membangun basis kekuatan politik, ekonomi, dan militer. Anaknya, Danang Sutawijaya alias Panembahan Senapati, kemudian meneruskan garis itu hingga menjadi raja Mataram pertama yang menguasai hampir seluruh Jawa.
Ramalan Sunan Prapen itu sempat terdengar mustahil—hingga akhirnya terbukti pada tahun 1636. Sultan Agung membawa Mataram menguasai hampir seluruh Jawa. Bahkan Giri Kedaton, pusat otoritas spiritual Islam di Jawa, benar-benar tunduk kepada Mataram.
Selama berabad-abad, Giri Kedaton dikenal sebagai pusat otoritas spiritual Islam di Jawa. Namun, kedudukannya menurun ketika menolak tunduk kepada kekuasaan politik Mataram. Sultan Agung tidak sembarang mengirim pasukan. Ia menunjuk Pangeran Pekik—karena silsilah dan legitimasi spiritualnya yang sepadan—untuk menundukkan Giri.
Pekik memimpin 10.000 pasukan ke Giri. Serangan pertama gagal oleh perlawanan Endrasena, panglima Giri berdarah Tionghoa Muslim. Namun, dukungan moral dari istrinya, Ratu Pandan Sari, membangkitkan kembali semangat pasukan. Dalam serangan kedua, Endrasena gugur dan Panembahan Giri menyerah.
Dengan tunduknya Giri, tak hanya ramalan Sunan Prapen terbukti, tetapi juga tuntaslah proses penyatuan politik dan spiritual Jawa di bawah Mataram. Giri takluk bukan sekadar karena senjata, tapi karena garis keturunan yang disebut dalam nubuat.
Ramalan dari Giri bukan sekadar nubuat, tetapi perangkat simbolik untuk mengarahkan sejarah. Dalam tradisi politik Islam-Jawa abad ke-16, restu para wali seperti Sunan Giri adalah fondasi sah kekuasaan. Sunan Giri Prapen memainkan peran kunci dalam transisi dari Demak ke Pajang dan ke Mataram. Sementara Ki Ageng Pamanahan, melalui kesantunan dan kecermatannya membaca dinamika spiritual-politik, menyiapkan jalan bagi kemunculan kerajaan terbesar pasca-Majapahit.
Ramalan itu menjadi kenyataan bukan semata karena diucapkan, tetapi karena diyakini dan dijalankan. Dan dari keyakinan itulah sejarah besar Jawa ditulis.