JATIMTIMES - Pertempuran Bangil pada penghujung abad ke-17 menandai titik kulminasi dari perlawanan panjang rakyat Nusantara terhadap dominasi Kompeni Belanda. Di tengah kegaduhan zaman, muncullah tokoh legendaris bernama Raden Surapati, yang lebih dikenal dengan nama Untung Surapati, bekas budak yang menjelma panglima tangguh.
Kisahnya mencapai puncak dalam duel berdarah melawan Kapten Pabeber, seorang perwira Belanda berpengalaman yang dikirim untuk menumpas perlawanan di Jawa Timur. Peristiwa ini bukan sekadar bentrokan militer, tetapi juga manifestasi dari konflik ideologi, spiritualitas, dan dendam sejarah yang melatari gejolak politik Jawa pasca-Trunajaya."
Baca Juga : Doa dan Tata Cara Tirakatan Malam Kemerdekaan 17 Agustus: Makna, Sejarah, dan Tradisi
Bangil, 1706: Medan Penentuan
Menurut Babad Kartasura, pertempuran itu terjadi setelah pasukan gabungan Kompeni, Surabaya, dan Madura mengepung wilayah Bangil dari utara. Adipati Wiranagara segera memobilisasi pasukan Pasuruan, dibantu oleh laskar Bali yang dikenal gigih dan mahir bertempur. Dengan mengumandangkan gung, bende, dan tambur, Surapati memanggil seluruh pengikutnya. Mereka berkumpul laksana gelombang samudera, bersenjata lengkap, penuh semangat juang.
Surapati, yang kala itu menyandang gelar Adipati Wiranagara, menyusun barisan dengan ketat. Ia memimpin sendiri laskar utama dan menjadi panglima Pasuruan. Bala bantuan dari Bali memberikan tenaga segar yang memperkuat semangat laskar pribumi.
Sementara itu, pasukan gabungan Kompeni Belanda di bawah Komisaris Kenol, Panembahan Mandura, dan Adipati Surabaya bersiap menghalau perlawanan. Kenol memimpin pasukan utama, Panembahan Mandura memimpin sayap kanan, dan Adipati Surabaya bertugas menjaga belakang.
Pertempuran pun pecah. Tembakan senapan dan meriam menghantam barisan Pasuruan, namun mereka tidak gentar. Keberanian mereka digambarkan seperti "pantang mundur, meski teman-temannya gugur satu per satu."
Duel Dua Dunia: Surapati vs Kapten Pabeber
Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, muncullah sosok Kapten Pabeber, seorang perwira Belanda tangguh dan berpengalaman. Ia segera mendekati medan tempur dan berhadapan langsung dengan Surapati. Pertemuan ini merupakan klimaks dari konflik yang telah membara sejak lama.
Dalam dialog singkat, Pabeber bertanya, “Siapakah engkau ini, perwira, aku ingin mengenalmu sebelum nyawamu melayang.” Surapati menjawab lantang: “Aku Adipati Wiranagara, namaku Raden Surapati, kepala yang pernah merusak Batavia. Ayo, tembaklah aku.”
Kapten Pabeber pun menembakkan pelurunya bertubi-tubi, namun tak satu pun mampu menembus tubuh Surapati. Sang Adipati tampak kebal senjata. Ketika peluru habis, terjadilah duel satu lawan satu. Keris dan pedang saling beradu, namun tidak ada yang terluka parah. Akhirnya mereka bergulat baku hantam. Di tengah pergumulan sengit, Kapten Pabeber menggigit leher Surapati hingga darah muncrat. Namun Surapati masih menyelipkan belati. Dengan gerakan kilat, ia menghujamkan belati itu ke dada Pabeber. Tubuh sang kapten roboh, dadanya terkoyak.

Kejatuhan Sang Pahlawan
Kematian Pabeber mengguncang mental pasukan Belanda. Komisaris Kenol panik, dan pertempuran pun melambat saat hari mulai gelap. Malam menjelang, pasukan Kompeni mengalami kerugian besar. Namun di pihak Pasuruan, meski menang secara moral, kerugian juga tidak sedikit. Dalam kekacauan malam, sebuah peluru emas dari senapan menghantam pinggang kiri Surapati. Meskipun secara lahir tidak terluka parah, bagian dalam tubuhnya terguncang hebat.
Surapati ingin mengamuk kembali, tetapi para pengikutnya memohon sambil menangis agar ia menahan diri. Demi mereka, ia mundur dari pertempuran dan kembali ke pesanggrahan. Hari itu menjadi saksi bisu dari duel sakral antara dua panglima: satu simbol perlawanan pribumi, satu simbol kekuasaan kolonial.
Surapati bukan sekadar tokoh militer. Ia adalah simbol perlawanan dari bawah. Lahir sebagai budak di Batavia, ia melarikan diri, memimpin pemberontakan, dan kemudian diangkat menjadi Adipati Pasuruan oleh Amangkurat II. Ia menolak tunduk kepada VOC dan memilih jalan jihad melawan kekuasaan asing. Dalam naskah-naskah babad dan laporan Belanda, Surapati kerap digambarkan sebagai "pembelot berbahaya", tetapi dalam memori rakyat, ia adalah ksatria sejati.
Kapten Pabeber, di sisi lain, melambangkan wajah kolonialisme: profesional, terlatih, dan brutal. Pengalaman panjangnya menundukkan negeri-negeri lain mencerminkan mentalitas ekspansionis VOC. Pertemuan mereka bukan sekadar duel, tetapi konfrontasi dua dunia: dunia pribumi yang penuh spiritualitas dan loyalitas adat, melawan dunia kolonial yang rasional dan militeristik.
Dampak Strategis: Retaknya Front Kartasura

Kematian Pabeber dan luka Surapati tidak berdiri sendiri. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Kartasura diguncang konflik internal. Amangkurat III, yang terusir dari takhta oleh Pakubuwana I, mencoba mempertahankan kekuasaan. Pangeran Purbaya, putra Amangkurat I dan paman Amangkurat III, mencoba memediasi, tetapi akhirnya berpihak pada Pakubuwana.
Surapati sendiri berada di tengah pertarungan ini. Ia mendukung Amangkurat III karena loyalitas terhadap janji dan perlindungan yang pernah diberikan kepadanya. Dengan terluka dan kekuatan militernya terkuras, posisi Surapati di Pasuruan semakin rentan. Komisaris Belanda mengirim pesan ke Panaraga untuk meminta bantuan dari Pangeran Purbaya. Namun dinamika istana membuat semua langkah menjadi rumit.
Sementara itu, Patih Sumabrata, salah satu tokoh kunci Amangkurat III, menerima surat dari Pakubuwana. Dalam surat tersebut, Pakubuwana mengakui jasa-jasa Sumabrata dan menjanjikan jabatan tinggi jika ia kembali ke Kartasura. Merasa terharu sekaligus kecewa dengan kondisi Amangkurat III yang semakin terpojok, Sumabrata akhirnya membelot dan kembali ke Kartasura.
Tragedi Pahlawan Tanpa Negara
Duel antara Surapati dan Kapten Pabeber hanyalah satu fragmen dari bab panjang perjuangan bangsa ini. Tetapi di sanalah nyala api terakhir Surapati menyala. Ia bukan hanya mati oleh peluru emas, tetapi juga oleh kesepian sejarah: pengkhianatan elite, runtuhnya solidaritas, dan kalahnya spiritualitas dalam politik kekuasaan.
Historiografi kritis mengajak kita melihat peristiwa ini bukan sekadar cerita heroik, melainkan refleksi dari nasib rakyat yang dipertaruhkan dalam permainan kekuasaan. Dari Batavia hingga Bangil, Surapati adalah cermin dari dendam sejarah yang tak kunjung reda.
Sebagaimana ditulis dalam teks Babad Kartasura: "Raden Surapati tak mempan senjata, tetapi tubuh manusia tetap menyimpan luka." Sebuah pesan abadi bahwa keberanian tidak cukup untuk mengalahkan sistem. Ia butuh negara, ia butuh kesatuan.
Dan ketika negara absen, sejarah hanya akan mencatat pahlawan sebagai kenangan, bukan sebagai fondasi. Untuk memahami bagaimana Surapati menjalani takdir itu, kita perlu menelusuri asal-usulnya, dari seorang budak kecil yang diperdagangkan hingga menjelma menjadi musuh abadi Kompeni.
Baca Juga : 9 Contoh Sambutan Ketua Panitia Malam Tirakatan 17 Agustus, Cocok untuk RT hingga Desa
Asal Usul dan Riwayat Singkat Untung Surapati: Dari Budak Menjadi Musuh Abadi Kompeni
Di tengah carut-marut kekuasaan dan pergolakan politik Jawa akhir abad ke-17, tampil seorang tokoh legendaris yang mengubah arah sejarah perlawanan Nusantara terhadap kolonialisme: Raden Surapati. Lahir dengan nama Surawiraaji, menurut Babad Tanah Jawi, ia berasal dari Bali dan pada usia tujuh tahun diperjualbelikan sebagai budak. Seorang perwira VOC, Kapten Pabeber, menemukan anak itu di Makassar dan menjualnya ke sesama serdadu Belanda, hingga akhirnya dibeli oleh van Moor dan dibawa ke Batavia. Karena sejak kehadirannya nasib van Moor membaik, bocah itu diberi nama "Si Untung," sebuah pertanda takdir besar yang akan datang.
Namun keberuntungan itu tidak bersifat timbal balik. Ketika dewasa, Untung dipenjara oleh tuannya sendiri karena menjalin asmara dengan putri van Moor, Suzane. Di balik jeruji, Untung menghimpun para tahanan dan berhasil melarikan diri. Sejak saat itu ia menjadi buronan VOC, musuh yang tak pernah mereka perhitungkan sebelumnya.
Tahun 1683, VOC menaklukkan Banten. Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng Tirtayasa, melarikan diri ke Gunung Gede. Dalam situasi ini, Kapten Ruys dari VOC Tanjungpura merekrut kelompok Untung menjadi tentara pribumi bayaran. Untung diberi pelatihan militer dan pangkat letnan, serta ditugaskan menjemput Pangeran Purbaya yang hendak menyerah, namun hanya kepada perwira seasal.
Peristiwa kunci terjadi pada 28 Januari 1684. Ketika pasukan Vaandrig Kuffeler memperlakukan Purbaya secara kasar, Untung marah besar dan menyerang mereka di Sungai Cikalong. Serangan itu membinasakan pasukan Kuffeler. Dari momen inilah, nama "Untung Surapati" mulai menggema. Di Kesultanan Cirebon, ia mengalahkan Raden Surapati, anak angkat sultan, dan atas putusan pengadilan, nama "Surapati" diberikan kepadanya sebagai simbol kehormatan.
Ketika mengantar istri Purbaya, Raden Ayu Gusik Kusuma, kembali ke Kartasura, Surapati disambut oleh Patih Nerangkusuma. Sang patih merupakan tokoh anti-VOC dan menikahkan Surapati dengan Gusik Kusuma. Di balik strategi pernikahan ini, tumbuh aliansi politik antara Surapati dan kelompok anti-kolonial dalam lingkungan keraton.

Ketegangan mencapai puncaknya pada Februari 1686. Kapten Francois Tack, tokoh kunci dalam penaklukan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa, dikirim ke Kartasura untuk menangkap Surapati. Di bawah bayang-bayang diplomasi palsu Amangkurat II, yang diam-diam melindungi Surapati, terjadilah pertempuran di halaman keraton. Sebanyak 75 tentara VOC tewas, termasuk Tack sendiri yang dibunuh oleh Surapati.
Setelah itu, Amangkurat II menyuruh Surapati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di sana, Surapati mengusir Anggajaya dan mengangkat dirinya sebagai bupati dengan gelar Tumenggung Wiranegara. Meski Amangkurat II pura-pura menyerang Pasuruan demi menyenangkan VOC, sesungguhnya ia telah menjadikan Surapati sebagai sekutu tak resmi melawan dominasi kolonial.
Namun segalanya berubah pasca wafatnya Amangkurat II tahun 1703. Ketika terjadi perebutan takhta antara Amangkurat III dan Pangeran Puger (yang didukung VOC dan naik takhta sebagai Pakubuwana I), Surapati berpihak pada Amangkurat III. Maka pada 17 Oktober 1706, pasukan gabungan VOC, Mataram, Madura, dan Surabaya mengepung Pasuruan.
Dalam pertempuran dahsyat di Benteng Bangil, Surapati gugur setelah lebih dahulu menewaskan Kapten Pabeber. Sebelum ajal menjemput, ia telah berwasiat agar kematiannya dirahasiakan. Jenazahnya disamarkan, sementara perjuangan diteruskan oleh anak-anaknya.
Meski kemudian makamnya dibongkar dan abunya dibuang ke laut oleh pasukan Herman de Wilde tahun 1707, nama Surapati tetap hidup sebagai lambang perlawanan pribumi terhadap penindasan kolonial. Dari budak kecil bernama Surawiraaji, ia menjelma menjadi legenda yang ditakuti VOC: musuh yang muncul dari dalam tubuh mereka sendiri, dibesarkan oleh sistem yang kemudian ia lawan dengan darah dan harga diri.
Warisan keberanian dan semangat perlawanan Surapati tidak berhenti bersamanya. Nilai-nilai itu terus hidup di tanah Jawa Timur, muncul kembali dalam berbagai gejolak dan perlawanan rakyat sepanjang sejarah.

Nilai perlawanan yang diwariskan Surapati tetap hidup di tanah Jawa Timur, muncul berulang kali sepanjang sejarah. Pada tahun 1810, Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirjo III meledakkan perlawanan anti-Belanda melawan Daendels. Tiga tahun kemudian, 1813, pecah peristiwa Kepruk Cina di Probolinggo, sebuah gejolak sosial yang memperlihatkan ketegangan antara masyarakat lokal dan kelompok asing.
Selanjutnya, Perang Jawa 1825–1830 menghadirkan tokoh Sentot Prawirodirjo, putra Raden Ronggo III, bangsawan Madiun yang kemudian menjadi panglima perang utama Pangeran Diponegoro dalam melawan dominasi kolonial Belanda. Semangat perlawanan ini terus berulang, misalnya dalam pemberontakan Pulung, Ponorogo, tahun 1885, ketika rakyat menentang penindasan dan ketidakadilan kolonial.
Abad ke-20 membawa perlawanan ke tingkat baru. Perjuangan Supriyadi dan pasukan PETA Blitar pada 14 Februari 1945 menandai kelanjutan semangat Surapati dalam melawan kekuasaan asing. Semua ini berpuncak pada Perang 10 November 1945 di Surabaya, saat rakyat Jawa Timur menunjukkan tekad bulat mempertahankan kemerdekaan.
Dari Surapati hingga Supriyadi, benang merahnya tetap sama: keberanian untuk tidak tunduk pada kekuatan asing, harga diri yang dijaga, dan semangat perlawanan yang diwariskan dari generasi ke generasi.