Ummu Syarik: Perempuan Tegar yang Menggetarkan Hati Makkah
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
17 - Nov - 2025, 10:47
JATIMTIMES - Di tengah hiruk-pikuk Makkah pada masa awal dakwah Islam, ada satu kisah yang meletup seperti cahaya kecil namun cukup terang untuk menggerakkan hati banyak orang. Cahaya itu datang dari seorang perempuan yang baru menemukan keyakinannya, Ummu Syarik, yang nama lahirnya Ghaziyah binti Jabir bin Hakim.
Perjalanan imannya bukan sekadar kisah pribadi; ia menjelma menjadi sebab tumbuhnya keyakinan bagi banyak jiwa lain.
Baca Juga : Kalender Jawa Senin Pon 17 November 2025: Hari yang Kurang Baik untuk Mulai Usaha
Ummu Syarik memeluk Islam diam-diam. Menurut riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, lintasan hidayah itu muncul saat ia masih berada di Makkah. Setelah hatinya mantap, ia bergerak pelan namun konsisten. Di ruang-ruang tersembunyi, ia berbincang dengan perempuan Quraisy, mengajak mereka menapaki jalan tauhid. Bisikannya menyebar, sampai suatu saat rahasia itu bocor.
Penduduk Makkah, yang kala itu keras menolak ajaran baru, menangkapnya. Mereka mengakui bahwa ia berasal dari kabilah terpandang, sebuah alasan yang membuat mereka menahan diri untuk tidak bertindak brutal. “Kalau bukan karena hubunganmu dengan kaummu, sudah lain perlakuan kami,” kata mereka sebelum membawa perempuan itu pergi.
Perjalanan berikutnya adalah ujian yang mengiris. Ummu Syarik digelandang di atas punggung unta tanpa alas, ditelantarkan selama tiga hari tanpa setetes air pun. Setiap kali rombongan berhenti, ia dijemur di bawah matahari yang membakar. Sementara itu, para penyiksanya beristirahat di tempat teduh, seolah menyaksikan perlahan-lahan tubuh seorang perempuan padam oleh panas.
Namun justru di titik paling rapuh, sesuatu terjadi.
Ia merasakan sejuk yang jatuh di tubuhnya. Sekali. Lalu lagi. Ketika ia mengulurkan tangan, ternyata sebuah timba air, datang entah dari mana. Ia meneguk sedikit untuk bertahan. Saat rombongan kembali dan mendapati tubuhnya masih kuat, mereka curiga ia diam-diam menemukan sumber air. Tapi tempat itu tetap kering seperti sebelumnya.
Setelah mendengar penjelasannya, mereka tak menemukan alasan untuk menuduhnya. Justru kebingungan itu membuka celah besar di hati mereka. “Kalau yang kamu katakan benar,” ujar salah seorang dari mereka, “maka agama yang kamu anut lebih baik dari keyakinan kami.”
Baca Juga : Pemkab Malang Maksimalkan Penyerapan Beras SPHP, Kini Terserap 10.240.620 Kilogram
Keyakinan yang tumbuh dari rasa takjub itu akhirnya mengantar mereka pada keputusan besar. Satu per satu menyatakan masuk Islam. Perempuan yang sebelumnya mereka tawan justru menjadi alasan mereka menemukan kebenaran.
Kisah ini termaktub dalam karya Sa’atan Sa’atan (Semua Ada Saatnya) tulisan Syekh Mahmud Al-Mishri, diterjemahkan oleh Ustaz Abdul Somad dan diterbitkan Pustaka Al-Kautsar. Sebuah pengingat bahwa hidayah sering muncul lewat jalur yang tak pernah kita kira, kadang melalui keteguhan hati seorang perempuan yang bertahan sendirian di tengah panas padang pasir.
