Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Ruang Sastra

Seda ing Kajenar: Misteri Wafatnya Panembahan Senapati

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

12 - Sep - 2025, 11:07

Placeholder
Lukisan ilustrasi Panembahan Senapati, raja pertama Mataram Islam. (Foto: AI created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa sarat dengan kisah wafat para raja yang tidak hanya meninggalkan warisan politik, tetapi juga misteri spiritual. Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram Islam, menjadi salah satu tokoh yang wafatnya dikelilingi selubung makna, baik dari sisi politik, religius, maupun simbolik. Babad Tanah Djawi menyebut peristiwanya singkat, sementara babad-babad lain menghadirkan tafsir berbeda: ada yang menekankan sakit, ada yang menyebut semedi, bahkan ada yang menghubungkannya dengan gerhana matahari.

Sebutan anumerta Seda ing Kajenar, yang berarti “wafat di Kajenar”, menjadi tanda tanya sejarah. Benarkah ia berpulang karena sakit sebagaimana ditulis dalam Babad Tanah Djawi? Ataukah ia meninggal ketika bertapa di atas Batu Gilang, sebagaimana tercatat dalam Babad Nitik Sarta Cabolek? Dan mengapa sumber Eropa mengaitkan wafatnya dengan peristiwa astronomis yang dapat dilacak secara ilmiah? Artikel ini mencoba menyingkap lapisan-lapisan narasi itu dalam bingkai historiografi kritis.

Senapati dan Suksesi Pertama Mataram

Kotagede

Panembahan Senapati, yang nama lengkapnya Sampeyan Dalem Ingkang Jumeneng Kangjeng Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah ing Tanah Jawa, adalah tokoh yang mengubah Mataram dari sekadar perdikan bawahan Pajang menjadi sebuah kerajaan besar di pedalaman Jawa. Latar politik akhir abad ke-16 ditandai oleh keruntuhan Pajang, melemahnya Demak, dan bangkitnya pusat kekuasaan baru di Mataram.

Panembahan Senapati terlahir dengan nama Raden Bagus Srubut atau Raden Danang Sutawijaya. Ia adalah putra Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Ageng Sabinah.

Dari garis ayah, silsilahnya bersambung hingga Majapahit. Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, menikah dengan Wandansari dan menurunkan Raden Bondan Kejawan. Dari perkawinan Bondan Kejawan dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub II, lahirlah Ki Getas Pandowo. Ki Getas Pandowo menikah dengan putri Sunan Mojogung dan melahirkan Ki Ageng Selo. Dari Ki Ageng Selo lahir Ki Ageng Henis, yang kemudian menurunkan Ki Ageng Pamanahan, ayah Danang Sutawijaya. Dengan demikian, melalui jalur ini Senapati merupakan keturunan langsung Majapahit yang juga terkait erat dengan tradisi spiritual Jawa.

Baca Juga : Pangeran Pringgalaya dan Tumenggung Mertalaya: Arsitek Penaklukan Brang Wetan pada Masa Sultan Agung

Dari garis ibu, Nyai Ageng Sabinah, silsilahnya tersambung ke Sunan Giri. Sunan Giri Prabhu Satmoto menikah dengan Nyai Ageng Ratu, putri Sunan Ampel, dan menurunkan Sunan Giri II atau Sunan Giri Dalem. Dari garis ini lahir Ki Ageng Kawisguwo atau Pangeran Sobo, yang menikah dengan Nyai Ageng Sobo, putri Ki Ageng Selo. Dari perkawinan inilah lahir Nyai Ageng Sabinah, ibu Danang Sutawijaya, serta Ki Ageng Juru Mertani, tokoh yang kelak menjadi penasihat utamanya.

Dengan demikian, Danang Sutawijaya memadukan dua garis keturunan yang sangat penting dalam sejarah Jawa. Dari ayahnya ia mewarisi garis politik Majapahit, sedangkan dari ibunya ia mewarisi garis spiritual para wali. Perpaduan ini memberinya legitimasi ganda, yakni sebagai pewaris tradisi politik kerajaan besar sekaligus penerus otoritas religius Islam.

Sejak muda ia dikenal berbakat, berjiwa ksatria, tekun bersemedi, gemar mempelajari ilmu kanuragan, dan ahli berkuda. Aura kharismatiknya membuatnya sejak awal dipandang sebagai pewaris takdir besar leluhurnya, terutama Ki Ageng Selo. Takdir sejarah kemudian mengantarkannya menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, dengan julukan Raden Ngabehi Loring Pasar.

Awal mula berdirinya Mataram tidak lepas dari peristiwa politik Pajang. Tahun 1549, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara: siapa pun yang mampu menumpas Arya Penangsang, pembunuh Pangeran Hadlirin suami Ratu Kalinyamat, akan diberi hadiah tanah perdikan. Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Mertani, dan Ki Panjawi tampil sebagai pemenang. Ki Penjawi memperoleh tanah Pati, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapat hadiah Alas Mentaok tujuh tahun kemudian, karena ramalan Sunan Giri Prapen menyebut kelak di sana akan lahir kerajaan yang lebih besar daripada Pajang.

Ki Ageng Pamanahan membuka Alas Mentaok pada tahun 1556 dan mendirikan permukiman yang kelak disebut Mataram. Ia wafat tahun 1575 dan dimakamkan di Kotagede. Sejak itu, Danang Sutawijaya menggantikannya sebagai penguasa perdikan dengan gelar Adipati ing Ngalaga, meski secara formal masih tunduk pada Pajang.

Pamanahan

Setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya tahun 1582, Pajang memasuki krisis suksesi. Tahta diambil alih oleh menantunya, Arya Pangiri, sementara putra kandungnya, Pangeran Benowo, tersingkir. Melihat situasi kacau ini, Danang Sutawijaya mulai melepaskan diri dari ikatan Pajang dan memantapkan tekad mendirikan kerajaan baru.

Menurut tradisi, di Lipura (Bantul sekarang) ia bersemedi di atas Watu Gilang dan menerima “wahyu” yang disebut Lintang Jauhari. Dari wahyu itu, ia diyakini mendapat legitimasi spiritual untuk mendirikan pusat kerajaan di Kotagede. Tahun 1587, ia resmi dinobatkan sebagai penguasa Mataram dengan gelar Panembahan Senapati.

Sebagai raja, Panembahan Senapati memadukan strategi politik, militer, dan spiritual. Ia memperluas wilayah kekuasaan dengan menundukkan Pajang (1587), Demak (1588), Madiun (1590), Kediri (1591), dan Ponorogo (1591). Melalui perkawinan politik dengan Ratu Retna Dumilah dari Madiun, ia juga memperkuat legitimasi dinastinya.Dari perkawinan ini lahir beberapa putra, antara lain Pangeran Pringgalaya, Panembahan Juminah, dan Tumenggung Martalaya. Menurut Babad Nitik serta Serat Cabolek, dari perkawinan ini pula kemudian lahir Sultan Agung.

Pemerintahannya menjadi fondasi bagi lahirnya sebuah kerajaan agraris-birokratis yang kelak mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Agung. Tradisi-tradisi kerajaan Mataram, baik dalam struktur politik, religius, maupun simbolis, dibangun sejak masa Senapati.

Ketika ia wafat, kerajaan Mataram masih muda, baru saja berdiri sebagai kekuatan baru. Masa pemerintahannya relatif singkat. Sumber-sumber babad berbeda dalam menghitungnya: ada yang menyebut tiga tahun, ada yang menyebut lebih panjang. Namun yang jelas, sebelum ajal tiba, Senapati sudah memikirkan suksesi.

Babad Tanah Djawi (Meinsma, hlm. 116–117) mencatat: sebelum meninggal, Senapati berpesan kepada putranya, Raden Mas Jolang, agar kelak menggantikannya meski masih muda. Adipati Mandaraka, sang penasihat utama, dan Mangkubumi diperintahkan menobatkannya. Senapati memperingatkan, jika amanat ini dilanggar, murka Allah akan datang. Amanat ini menunjukkan kesadaran Senapati akan pentingnya kesinambungan dinasti di tengah kondisi kerajaan yang masih rapuh.

Serat Kandha (hlm. 670–672) menambahkan detail lain. Putra mahkota sudah ditetapkan beberapa bulan sebelum Senapati wafat. Ia diberi gelar Mangkunagara, gelar tradisional untuk pewaris tahta abad ke-17. Ini menunjukkan ada upaya sadar untuk menyiapkan suksesi yang tenang.

Dalam sistem politik Jawa, pengangkatan putra mahkota bukan hanya urusan keluarga. Sering kali ia menjadi ajang perebutan kekuasaan antar-kelompok istana. Namun pada masa Senapati, suksesi pertama Mataram berlangsung relatif lancar. Hal ini menjadi fondasi penting bagi keberlangsungan dinasti.

Seda ing Kajenar: Di Mana Senapati Wafat?

Gelar anumerta Senapati adalah Seda ing Kajenar. Secara harfiah berarti “yang wafat di Kajenar”. Lokasi Kajenar sendiri terletak di dekat Sragen, Jawa Tengah. Raffles dalam History of Java juga menyebutkan bahwa Senapati wafat di Jenar, bukan di istana. Hal ini memberi bobot pada penafsiran bahwa tempat wafatnya memiliki makna spiritual.

Namun Babad Nitik Sarta Cabolek menawarkan kisah berbeda. Dalam versi ini, Senapati tidak meninggal karena sakit. Ia wafat ketika sedang bersamadi, bertafakur di atas Batu Gilang, sebuah batu keramat yang melambangkan kekuatan gaib Mataram. Versi ini menekankan dimensi mistis wafatnya seorang raja yang dianggap setengah dewa.

Bila kita bandingkan, Babad Tanah Djawi lebih menekankan aspek politik, yakni amanat suksesi dan sakitnya raja. Sebaliknya, Babad Nitik Sarta Cabolek lebih menonjolkan aspek spiritual. Dua narasi ini saling melengkapi: yang satu menekankan kelanjutan dinasti, sedangkan yang lain menekankan transendensi raja.

Senapati

Tahun Wafat Senapati dan Gerhana Matahari

Masalah berikutnya adalah penentuan tahun wafat. Di sinilah catatan babad bersinggungan dengan ilmu astronomi.

Babad Sangkala menyebut wafat Senapati terjadi pada tahun Jawa 1523 (1601 Masehi). Peristiwa ini disebut bertepatan dengan gerhana matahari. Informasi ini menarik, sebab gerhana dapat diverifikasi dengan perhitungan astronomi. Brouwer, direktur Observatorium di New Haven, menyatakan bahwa pada 30 Juli 1601 memang terjadi gerhana matahari total. Jalur totalitasnya melewati Jawa Utara dan kemungkinan terlihat penuh di Jawa Tengah. Ia merujuk pada Canon der Finsternisse karya Oppolzer (Wina, 1887).

Baca Juga : Deretan Mitos Gerhana Bulan untuk Ibu Hamil, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Dengan demikian, klaim babad tentang wafat Senapati pada 1601 mendapat dukungan ilmiah. Hageman dan Babad Momana juga menyebut tahun yang sama.

Namun Raffles dalam History of Java memberi tanggal berbeda: 1521 J (1599 M). Ia mengaitkannya dengan gerhana tahun berikutnya (1600). Akan tetapi, perhitungan astronomi modern membuktikan klaim Raffles tidak tepat.

Sumber Belanda menambah kepastian. Panembahan Krapyak, putra Senapati, wafat pada Oktober 1613 setelah memerintah 12 tahun. Jika dihitung mundur, awal pemerintahannya jatuh sekitar 1601. Maka tahun wafat Senapati kembali mengerucut pada 1601, meski bulan pastinya masih diperdebatkan.

Abdi

Pemberontakan Pati dan Tafsir Simbolik

Babad Tanah Djawi juga mencatat peristiwa lain yang berdekatan dengan wafat Senapati: pemberontakan Adipati Pati. Dikatakan terjadi setahun sebelum Senapati meninggal. Namun babad salah dalam penanggalannya, menuliskan tahun 1551–1552 J. Koreksi kronologi membawa kita pada 1600.

Babad Sangkala menyinggung kematian seorang “Adipati Mesir” pada 1600. Ada dugaan bahwa istilah “Mesir” di sini merujuk pada Pati. Hubungan Pati–Mesir ini berakar pada kosmologi Islam Jawa. Pijper mengajukan hipotesis bahwa muslim Jawa sekitar Gunung Muria menyamakan tanah suci dengan wilayah mereka.

Demak dipandang sebagai “Mekkah Jawa”. Masjid Demak, yang dikeramatkan, dianggap sebagai pusat ziarah setara dengan Ka‘bah. Sunan Kalijaga di Kadilangu diposisikan sebagai Nabi yang menanti kiamat, sehingga daerah itu menjadi “Madinah Jawa”. Kudus, dengan namanya yang mirip Al Quds (Yerusalem), dipandang sebagai Darussalam. Maka Pati, dengan sebutan Mesir, menjadi bagian dari simbolisasi itu.

Jika benar demikian, maka pemberontakan Pati bukan sekadar konflik politik, melainkan perlawanan yang dilapisi simbol religius. Pertentangan antara Pati dan Mataram merefleksikan tarik-menarik ideologi antara tradisi Islam pesisiran (Demak–Muria) dan kekuasaan pedalaman (Mataram).

Senapati

Historiografi Wafat Senapati

Dari uraian di atas, terlihat bahwa wafat Senapati tidak bisa dipahami hanya sebagai peristiwa biologis. Peristiwa tersebut merupakan momen simbolik yang menandai transisi politik, religius, dan ideologis.

Pertama, ada dimensi politik: Senapati meninggalkan amanat jelas agar putranya, Jolang, menggantikannya. Ini menjadi dasar legitimasi awal bagi suksesi dinasti Mataram.

Kedua, ada dimensi spiritual: gelar Seda ing Kajenar dan kisah wafat dalam semedi menempatkan Senapati sebagai raja yang tidak sekadar manusia, melainkan penghubung dunia manusia dan dunia gaib.

Ketiga, ada dimensi kosmologis: wafatnya dihubungkan dengan gerhana matahari, sebuah fenomena langit yang sejak lama dipandang sebagai pertanda perubahan besar. Dalam pandangan Jawa, gerhana adalah momen kosmik yang mengguncang keseimbangan dunia. Bahwa wafat Senapati bertepatan dengannya menambah bobot sakral peristiwa ini.

Keempat, ada dimensi konflik ideologis. Pemberontakan Pati serta simbolisasi Mesir, Demak, dan Kudus menunjukkan adanya persaingan antara dua visi Islam Jawa, yaitu pesisiran dan pedalaman.

Kotagede

Catatan Akhir

Panembahan Senapati wafat pada 1601, kemungkinan besar di Kajenar dekat Sragen, dengan gerhana matahari sebagai latar kosmik. Apakah ia wafat karena sakit sebagaimana disebut dalam Babad Tanah Djawi, atau dalam semedi sebagaimana dikisahkan Babad Nitik, tetap menjadi misteri. Yang jelas, peristiwa itu menandai lahirnya tradisi dinasti Mataram yang bertahan lebih dari dua abad.

Wafat Senapati bukan hanya akhir perjalanan seorang pendiri, melainkan juga awal sebuah dinasti. Dari makamnya di Kajenar, sejarah Jawa bergerak menuju babak baru: masa Panembahan Hanyakrawati, Sultan Agung, hingga pecahnya Mataram dalam Perjanjian Giyanti. Sejarah mencatat, kematian seorang raja tidak pernah sekadar peristiwa biologis, melainkan cermin ideologi, spiritualitas, dan dendam sejarah yang membentuk wajah Jawa hingga kini.

Senapati memiliki sejumlah istri, di antaranya Nyimas Adisara, Kanjeng Ratu Mas Semangkin, Kanjeng Ratu Mas Prihatin, Kanjeng Ratu Waskita Jawi, Kanjeng Ratu Giring, Kanjeng Ratu Retna Dumilah, Nyai Bramit, dan Nyai Riyo Suwanda. Dari mereka lahir banyak putra dan putri, seperti Pangeran Purbaya, Pangeran Adipati Demak, Panembahan Juminah, Tumenggung Pringgalaya dan Raden Ayu Pembayun. Keturunannya kelak memainkan peran penting dalam sejarah Mataram hingga abad ke-18.

Sultan Agung

Pengganti Senapati adalah Panembahan Hanyakrawati, putra dari pernikahannya dengan Ratu Waskita Jawi asal Pati. Ia memerintah sejak 1601 hingga wafat pada 1613. Sepeninggal Hanyakrawati, tahta beralih kepada Sultan Agung yang kemudian membawa Mataram mencapai puncak kejayaannya.

 

___________________________

Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan hasil rangkuman dari berbagai sumber.


Topik

Ruang Sastra panembahan senapati mataram islam kajenar



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Pacitan Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri